05 Februari 2009

Elegi Bagi Sebentuk Cinta (2)

Suara ketukan di pintu kantornya membuat Utomo terpaksa menghentikan pembacaan laporan rutin dari berbagai cabang perusahaannya yang bertebaran di meja kerjanya.

“Masuk!” bentak lelaki separuh baya itu sambil melepas kaca matanya dan menggosok kedua matanya dengan punggung tangan.

“Selamat siang, Pak,” seorang gadis yang tampaknya belum terlalu lama meninggalkan masa remaja melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan pelan dan mendekati mejanya. Ia berhenti dekat sekali dengan meja Utomo, berdiri dan menatap lelaki itu dengan tatapan aneh.

“Ada apa, Lis?” Utomo melempar kaca matanya ke atas meja, yang mendarat di atas tumpukan kertas.

“Kenapa Bapak selama ini menghindari saya?”

Itu lagi, desah Utomo. Lelaki itu terhenyak di kursinya, mengusap wajahnya dengan telapak tangan dan mengeluarkan sebuah desahan panjang.

“Saya hanya ingin Bapak …”

“Sudah cukup! Kamu ini ngerti nggak apa yang sudah saya katakan, hah? Gugurkan saja itu! Beres! Kan sudah saya bilang, saya akan beri kamu sepuluh juta untuk membereskan persoalan ini. Kalo uang segitu belum cukup, memangnya kamu mau minta berapa, hah? Kamu mau memeras saya?” Utomo membentak, dan tanpa sadar ia sudah berdiri di tempatnya dan menghantamkan kedua tangannya ke meja.

“Bukan masalah uang Pak, tapi saya tidak mau menggugurkan …”

Dengan gusar Utomo menarik laci mejanya, memasukkan sebundel uang ke dalam sebuah amplop coklat besar dan melemparkannya pada gadis itu, tepat menghantam wajah sang gadis.

“Ambil uang sepuluh juta itu! Ambil! Pokoknya itu cukup buat ngurus perutmu itu! Siapa yang suruh sampai hamil segala? Sekarang, keluar dari tempat ini! Keluar!”

Di bawah tudingan jari Utomo yang terarah ke pintu keluar, gadis itu hanya bisa terisak dan berlalu dari ruangan itu. Amplop berisi uang itu dibiarkannya tergeletak di lantai. Hatinya sakit sekali. Ia keliru menilai Utomo, yang dulu sewaktu berusaha mendekatinya ketika ia baru bekerja beberapa minggu sebagai tenaga administrasi di perusahaan itu, bersikap sangat lembut dan penuh perhatian. Ia terjebak rayuan lelaki setengah baya itu, sampai bersedia ditiduri. Sekarang ia hanya bisa menyesali itu. Nasi sudah jadi bubur. Lisa hanya mampir sebentar ke toilet untuk merapikan diri, mencuci mukanya supaya tidak terlalu tampak habis menangis, dan dengan sekuat tenaga menabahkan hati, pergi meninggalkan kantor itu. Untuk selama-lamanya.

***

Setiap saat rasanya Jim sukar melepaskan bayangan gadis sederhanan itu. Masih muda, tapi sudah harus menjalani hidup dalam kepapaan macam itu. Pemuda itu heran, sekaligus penasaran. Kecantikan macam apa yang ada di balik penampilan kumal itu? Itu mendorongnya mengitari daerah yang ia kira tentu dilewati gadis itu saat bekerja. Tari, nama yang sederhana, meski tidak terkesan kampungan.

“Lo nyari siapa sih, Jim? Dari tadi loe suruh gue muter-muter gak keruan begini?” gerutu Rudi, yang sudah hampir sejam menyetir sedan biru metalik salah satu koleksi Jim.

Jim seperti tidak mendengar gerutuan teman karibnya itu.

Ia tidak henti-hentinya menengok kanan-kiri, terus berusaha untuk bisa melihat seseorang.

“Jim!”

Jim menoleh.

“Sabar dikit, kenapa? Gue masih belum lihat tuh cewek …”

“Cewek yang mana sih yang lagi loe cari? Masak nyari cewek di kawasan pertokoan kayak gini sih? Mahasiswi ato bukan? Kalo mahasiswi, mending kita satronin kampusnya aja. Kan lebih gampang?”

Tiba-tiba Jim menemukan sosok yang dicarinya.

“Itu dia!”

Rudi menghentikan sedan itu, dan berusaha melihat perempuan macam apa yang diburu sohibnya sejak tadi.

“Cewek yang mana sih, kok gue nggak lihat?”

“Itu!”

Rudi mengikuti telunjuk Jim, dan ketika ia melihat sosok yang ditunjuk itu, ia menjadi sangsi.

“Yang mana?”

“Itu!”

Rudi kali ini yakin sosok yang ditunjuk sohibnya itu. Dengan ragu ia bertanya, “Tukang sampah itu?”

Jim mengangguk.

“Astaganaga, Jim … demi dewa Tutatis dan segala jin Kemayoran! Loe kesambet setan mana sih, muter-muter dari tadi cuma buat nyari tukang sam…” Rudi tidak berani melanjutkan kata-katanya karena sekarang Jim sedang menatapnya dengan garang.

“Loe gak usah komentar apa-apa kali ini! Kalo gue butuh komentar loe, seperti biasa, gue bakal ngomong ke elo! Ngerti?”

Rudi menelan ludahnya, bibirnya terasa kering, dan ia tanpa sadar hanya bisa mengangguk kecil. Jim bukan orang yang menyenangkan dan menimbulkan rasa aman kalau ia sedang temperamental seperti itu.

“Lo sana pergi bawa mobil ini! Sejam lagi lo jemput gua di sini, ngerti? Lo boleh puas-puasin keliling kota sama mobil ini.”

Rudi mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi.  Sambil mengangkat bahu, ia masuk ke dalam mobil dan tak sampai lima menit sudah melaju meninggalkan sekepul asap knalpot berbau harumnya premix.

***

Elegi Bagi Sebentuk Cinta (1)

Langit di atas kompleks perumahan elit hari itu sedang cerah. Gumpalan putih awan yang menyebar di latar kebiruan semestinya membuat siapapun yang menatapnya merasakan suasana yang hangat, menentramkan.

Tapi ternyata tidak bagi Jim.

Pemuda awal duapuluhan itu hanya berdiri tanpa tahu mesti berbuat apa-apa. Bukan sekali ini saja ia merasakan perasaan begini. Entah sudah keberapa kalinya kekosongan yang begitu dalam, seolah-olah ada lobang besar tanpa dasar yang muncul didalam dirinya. Kekosongan yang ia sendiri tidak mengerti kenapa. Kekosongan yang sudah berulang kali coba ia tutupi, ia puaskan dengan melakukan apa saja. Sebut saja dengan segala kesenangan yang bisa ia peroleh dengan mudah, karena ia punya uang untuk mendapatkannya.

Jim menunduk di depan kolam ikan, yang dirancang dengan desain yang begitu alami. Seulas senyum sinis terukir sesaat diwajahnya ketika ia mengingat berapa juta papanya menghabiskan dana untuk membuatnya. Permukaan air yang tenang, yang hanya sesekali memunculkan riak kecil ketika ikan-ikan didalamnya mencoba muncul dipermukaan, memantulkan bayangan wajahnya.

Sesaat Jim memandangi pantulan wajahnya itu. Ia merasakan pipinya mulai terasa panas. Tanpa bisa ia kendalikan lagi, matanya tak sanggup membendung air mata yang mulai menggenang dan sekarang meluncur turun di pipinya.

Cengeng! Dengan jengkel pemuda itu mengusap wajahnya. Ia masuk ke dalam rumah, membasuh wajahnya dengan air dingin yang mengucur keluar dari keran wastafel. Dan dengan gerak reflek ia menyambar jaketnya. Sesaat ia tak sadar sudah berada di samping BMW edisi terbarunya. Ketika ia mengulurkan kunci untuk membuka pintu sedan itu, mendadak muncul sebuah gagasan. Ia memasukkan kembali kunci mobil itu kedalam saku celananya. Dengan mengenakan jaketnya, ia keluar dari halaman rumahnya yang besar itu.

Berjalan-jalan, betul-betul berjalan, dengan kedua kakinya. Tanpa kendaraan. Entah kenapa ide itu bisa melintas dibenaknya siang itu. Mungkin karena ia sudah bosan duduk memegang stir dalam ruangan mobil yang dingin karena semburan AC. Udara sudah tidak terlalu panas, paling tidak untuk ukuran Jakarta. Tapi panas atau tidak, ia sudah tidak peduli.

***

Entah sudah berapa lama Jim berjalan. Kini ia sedang melangkah diatas trotoar yang naik turun di depan deretan toko-toko kecil yang bangunannya tidak beraturan. Kakinya sudah terasa pegal sekali. Didepan sebuah kios kecil ia menjatuhkan pantatnya keatas sebuah bangku panjang dari kayu yang dipasang seadanya.

“Marlboro!” Jim mengulurkan selembar uang sepuluh ribuan kepada pemilik kios itu.

“Sama korek?” si pemilik kios, seorang lelaku yang mulai keriput dan sangat kurus itu, menarik sebuah korek gas dari kotaknya.

Jim menggeleng, ia menarik korek gasnya dari sakunya dan menunjukkannya kepada si pemilik kios. Bapak tua itu menggangguk kecil, entah kepada siapa, mengais-ngais laci kayu untuk mengambil uang kembalian, dan setelah menghitung dengan cepat ia mengulurkan beberapa lembar ribuan dan receh serta sebungkus rokok Marlboro kepada Jim. Jim hanya mengambil rokok itu, dan dengan acuh menolak uang kembaliannya, yang disambut dengan wajah bersinar si pemilik kios itu meski mulanya ia agak terkejut. Kedermawanan rupanya adalah hal langka bagi orangtua itu.

Jim menghisap dalam-dalam batang rokok yang menyala itu. Asap yang bergerombol menyesaki paru-parunya, menerobos keluar dengan hembusan kuat lewat kedua lubang hidungnya.

Setelah ia membakar dua batang rokok itu, dan siap untuk membakar batang yang ketiga, ia melirik arlojinya. Pukul setengah empat. Ia kembali mengangkat kepalanya, memandangi lalu lintas yang padat di depannya. Beberapa kali harus mengendus bau badan orang-orang yang berjalan rapat di depannya. Sesekali ada saja sandal atau sepatu yang menginjak sandal sepatu kulitnya. Tapi ia tidak peduli. Pikirannya kosong. Tapi pemandangan jalanan itu seolah menjadi hiburan tersendiri baginya. Ia sudah bosan dengan lingkungan nyaman dari mal-mal besar, kampus yang megah yang bertarif puluhan juta tiap semesternya, termasuk rumah besar yang selalu sepi, karena penghuninya hanya menjadikannya terminal sementara untuk terus ditinggal karena aktivitas yang padat.

Suara bising jalanan berikut bau khasnya yang sebenarnya sama menyesakkan dan buruknya dengan asap rokok yang biasa dihisapnya menjadi selingan yang sedikit mengalihkannya dari rutinitas kehidupan mewahnya.

Jim tertarik pada sesosok kumal yang menghentikan gerobak sampah tidak jauh darinya. Sosok itu masih muda. Mungkin sebaya dengannya. Dengan gesit sosok itu mendekati tempat sampah yang ada, mengangkatnya dan melemparkan isinya dengan ketepatan yang pas, sehingga isinya semuanya jatuh dengan manis kedalam gerobak sampah itu.

Mulanya Jim menyangka ia seorang lelaki. Tetapi ketika sosok itu mulai berjalan ke arahnya, mau mengambil tempat sampah yang hanya berjarak tiga setengah meter dari tempat Jim duduk, ia melihat bahwa tukang sampah itu seorang perempuan, walaupun ia memotong rambutnya pendek dan menutupinya dengan topi kumal. Tubuhnya kurus dengan dada yang rata.

Yang menarik bagi Jim adalah pancaran matanya. Ekspresi wajahnya. Ketenangan langkahnya. Jim merasakan semacam keanggunan dari gerak tukang sampah itu.

“Namanya Tari …” suara serak pemilik kios yang sekarang sudah duduk di sampingnya mengejutkannya. Tapi Jim tidak peduli, ia terus mengamati sosok itu, yang sekarang berjalan membelakanginya menuju gerobak yang terparkir ditepi jalan.

“Dia itu tukang sampah disini?” rasa penasaran yang muncul tak bisa ditahannya, sehingga Jim merasa perlu bertanya begitu pada bapak tua itu.

“Benar, Mas. Sudah hampir tiga tahun anak itu kerja jadi tukang sampah di wilayah jalanan ini.”

Jim mengangguk pelan, sekedar menunjukkan bahwa ia mendengarkan jawaban yang diberikan kepadanya.

“Anaknya rajin, Mas. Bapak sendiri sudah menganggapnya anak bapak sendiri, suka bilangin preman disini supaya nggak mengganggunya.”

Jim tidak menanggapi. Matanya terpaku pada sosok yang mengusik perhatiannya itu. Gadis itu berbeda. Jim menaksir usianya sebaya dengannya. Gadis itu memang tidak secantik dan seseksi Vira, mantan pacarnya. Tapi ada semacam daya tarik dari dirinya, yang terpancar dibalik penampilannya yang kumal itu.

Ah, kok tiba-tiba ia menjadi sentimentil begitu. Mungkin karena jenuh dengan dunia yang gemerlap, sehingga kesederhanaan semacam itu sekarang menjadi sesuatu yang mampu memikatnya.

“Siapa namanya, Pak?” mendadak Jim bertanya.

“Ha? Oh … Sari …,” pemilik kios yang sedari tadi duduk melamun menjawab setelah berhasil mengatasi kekagetannya atas pertanyaan yang begitu mendadak itu.

“Terima kasih, Pak,” Jim berdiri, membuang puntung yang masih menyala itu ke tanah dan menginjaknya sampai lumat, lalu melenggang pergi.

***

30 Januari 2009

MENYUSURI "PANGGILAN"

Aku menyadari bahwa hidupku sekarang adalah hidup menyusuri panggilan. Panggilan untuk belajar peka dan setia atas apa yang kuperoleh sebagai tuntunan. Meski apa yang kumaksud dengan tuntuan itu tidak semenarik perhatian semak belukar yang menyala. Meksi itu juga tidak seheboh suara dari langit. Meski itu seringkali berbisik dalam angin sepoi-sepoi, bahkan "lihat saja nanti" yang selalu didengungkan seperti pada Abram. Aku memang bukan tokoh-tokoh Alkitab yang mengagumkan itu. Aku juga bukan "man of year" versi Ibrani 11. Tapi aku tahu bahwa aku sedang menuju pada jalan para bapa beriman itu. Dan aku bahagia karena pengetahuan itu. Menyusuri panggilan adalah pengalaman yang penuh tantangan. Mungkin Dia tahu, bahwa aku suka sekali traveling, sehingga Dia mengatur jalur panggilan yang harus kususuri dalam bentuk petualangan. Bukan berpindah "ladang" yang ku maksud petualangan itu, melainkan dari pengalaman demi pengalaman, pilihan demi pilihan, serta tantangan demi tantangan. Ada "rute" yang harus ditempuh. Ada "tujuan" yang harus dicapai. Ada "penderitaan" yang harus ditanggung. Ada "was was" yang harus ditahan. Aku menikmati setiap cara yang begitu kreatif Dia sodorkan padaku, agar aku mau terus berjalan menyusuri panggilanku. Dan seperti seorang bocah, aku melonjak senang setiap kali "ajakan" untuk satu langkah lagi menyusuri itu diserukan oleh-Nya. Karena itu berarti ada "keasyikan" baru yang Dia siap berikan ke tanganku ketika aku bersedia mengikuti-Nya untuk satu langkah lagi. Karena itu juga berarti satu lagi tahap dimana aku melalui proses pendewasaan sebagai anak-Nya. Aku menyadari sekali, bahwa hidupku sekarang adalah hidup menyusuri panggilan. Sebuah hak istimewa yang sering dengan bangga kubisikkan pada diriku sendiri--sebab bukankah melontarkannya secara oral pada orang lain adalah kesombongan? Malam ini, ketika aku dengan iri menonton para petualang bersepeda dan berjalan kaki yang diwawancarai dalam Kick Andy, aku menghibur diri dengan berbisik, "Ed, tahu nggak kalo kamu juga sudah bertualang ... sedang bertualang menyusuri jejak panggilan Tuanmu ... asal kamu mo setia dan tekun melangkah, kamu bisa berbangga seperti pesepeda dan pejalan kaki itu ... cuma saja, rekormu tidak dicatat di MURI atau pencatat rekor mana pun di dunia fana ini ... catatan itu akan digoreskan Bapak di Kitab Perbuatanmu ..." Maka, sambil membayangkan goresan tangan Bapa yang menuliskan sesuatu di Kitab Perbuatan itu, aku menyadari dan (belajar serta bergumul) untuk menikmati hidup menyusuri "panggilan."

26 Januari 2009

NaTaL DaN ImLeK

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33)

Sebuah sekolah Kristen yang kental latar belakang Tionghoanya akan mengadakan dwi perayaan sekaligus: Natal 08 dan Imlek 09.  Sewaktu diminta menuliskan kata sambutan mewakili majelis gereja untuk dwi perayaan itu, saya sempat bingung.  Apa hubungannya Natal dengan Imlek?  Esensinya aja udah beda jauh.  Yang satu kesederhaaan yang penuh memberi.  Yang satu lagi kemeriahan yang sangat meminta atau mengharap. 

Akhirnya Tuhan “membisikkan” Matius 6:33 untuk dijadikan nats dasar kata sambutan yang harus saya tulis.  Saya terperangah, sebab nats itu benar-benar tepat!  Ih, Tuhan huebaaat dech (lho, kok baru nyadar seh?). 

Dua perayaan, sekali lagi: dengan dua esensi yang berbeda—bahkan bertolak belakang, sudah jauh-jauh hari diantisipasi oleh Tuhan.  Nats ini tepat sekali menegaskan preferensi dari kedua perayaan tersebut.

Natal: adalah “carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya.”  Natal mula-mula adalah upaya pencarian Allah terhadap manusia yang berdosa.  Sebuah upaya pencarian yang mengorbankan harga termahal = Putra Tunggal-Nya sendiri!  Peristiwa Natal pertama pada dasarnya adalah perwujudan kasih Allah yang besar pada manusia berdosa.  Kasih itu diwujudkan dalam bentuk yang begitu sederhana, namun kuat.  Begitu sepi, namun universal.  Manusia diajak untuk kembali pada hidup sejati yang Allah telah rancangkan ketika Ia menciptakannya: hidup di dalam Allah dan kehendak-Nya.  Hidup dimana Kerajaan Allah (the Kingship of God, not just the Kingdom of God) hadir dalam hidup kita.  Dan kehidupan dalam the Kingship of God in our life itu harus dalam ranah kebenaran—bukan subyektivitas religius yang banyak membohongi kaum agamis.  Maksud saya, kehidupan religius (rohani tepatnya) yang menjadikan kebenaran Allah secara mutlak sebagai tolak ukur dan “aturan main”nya.  Akibatnya, kita akan banyak dibingungkan dengan paradoks (=hal-hal yang tampaknya bertentangan, tetapi sebenarnya tidak—bahkan selaras) bila berbicara mengenai kebenaran Allah.  Bukankah Natal adalah paradoks terbesar—dimana Tuhan yang Mahamulia menjelma menjadi ciptaan yang “rendah”? dimana Tuhan yang mencari lebih dahulu manusia berdosa yang nota bene adalah pihak yang paling membutuhkan Tuhan?

Imlek: adalah “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”  Imlek—tahun baru Tionghoa—jelas berakar dari budaya Tionghoa (lha, mosok dari budaya Jawa).  Meski katanya merupakan budaya, tidak dipungkiri lagi bahwa sinkretisme kepercayaan dan agama yang dianut mayoritas kaum Tionghoa sudah merasuk kuat di dalamnya.  Mirip sekali dengan beberapa daerah di Indonesia, dimana budaya dan agama sudah melebur, sehingga sulit sekali membedakannya, apalagi memisahkannya.  Sebagai Kristen Tionghoa, kita harus “berhati-hati” agar tidak terjebak dalam cap sinkretis karena turut berImlek ria.  Sinkretis antara Allah dan Mamon.  Sebab Imlek memang sarat dengan semangat Mamonisme … bukankah hampir seluruh simbol dalam ritual Imlek mengarah pada harapan keberkahan secara materi?  Imlek bisa berjalan di belakang iman Kristen, hanya bila itu dilihat sebagai “yang ditambahkan kemudian.”  Bukan sebagai pendamping hidup.  Maksudnya, bukan yang utama kedua.  Bukankah Kristus sendiri sudah menegaskan bahwa kita tidak dapat mengabdi pada dua tuan, bukan? Preferensi kita hanya memungkinkan tempat utama dimana kita mengabdi cuma bisa pada satu pihak saja.  Sehingga mau tidak mau, kita harus memilih.

Pada akhirnya, Natal dan Imlek bisa “sejalan” bila kita memandangnya sebagai momen untuk bersyukur.  Momen Natal adalah momen bersyukur atas cinta kasih Allah yang besar sehingga mengutus Putra Tunggal-Nya bagi orang berdosa macam kita.  Momen Imlek adalah momen bersyukur atas segala berkat yang telah, sedang dan akan Allah limpahkan pada kita—dimana kita memandang bahwa Dialah satu-satunya Sumber Berkat dan Pemelihara hidup kita.

22 Januari 2009

KALO YG INI, TUHAN NGGAK “PELIHARA”

Status jomblo, di satu sisi menyenangkan (buat saya), tapi di sisi lain menyebalkan (juga bagi saya)—sebab sering harus akting dengan adegan tanya jawab: “Kapan nikahnya?”  “Mei …”  “Bulan Mei?” “May be yes, may be no.”

Sampai satu ketika, seorang majelis bertanya mengapa saya tidak “jadian” saja dengan si Anu—seorang gadis lajang, usia hanya beberapa tahun lebih muda dari saya, cantik, dan nggak terlalu bodoh (maaf, yang terakhir unsur subyektivitas saya aja kok).  Saya bilang, nggak mungkin.  Ketika sang majelis tanya kenapa, saya jelaskan bahwa nggak mungkin “memelihara” istri yang perawatan tubuhnya saja paling tidak membutuhkan biaya sampai hampir satu  juta rupiah tiap bulan.  Belum lagi belanja pakaiannya yang minimal lima ratus ribu rupiah tiap bulan.  Itu belum termasuk acara makan dan jalan-jalan.  Mesti habis berapa juta per bulannya untuk “memelihara” istri macam itu?  Sedangkan panggilan “profesi” seperti saya harus belajar hidup sederhana—dalam artian yang sesungguhnya.  Bukan sederhana macam penginjil KKR kota besar atau pendeta-pendeta “gereja” tertentu, tentunya. 

Lantas, sang majelis menohok dengan pernyataan, “Kan Tuhan pelihara …” (mulanya saya kira tunjangan hidup saya bakal di-upgrade sama dia—yah, kepanjangan tangan Tuhanlah—tapi belakangan itu cuma mimpi, he he he)”masak kuatir?”  Saya langsung jawab, “Bener, amiiin … Tuhan pasti pelihara saya.  Tapi kalo istri kayak si Anu, Tuhan nggak pelihara ….”  Maksud saya, bukan pemeliharaan Tuhan terbatas, tapi sayalah yang mesti tahu diri, kalau mencari pendamping jangan sampai “mencobai” Tuhan dengan tuntutan pendapatan yang mesti besar sekali.  Jelas sekali panggilan Tuhan bagi saya termasuk tidak boleh mengambil pendamping yang gaya hidupnya di atas tunjangan hidup saya.  Pendamping macam itu biarlah diambil oleh para konglomerat, begitu pesan pak J. Sahetapy beberapa tahun lalu dalam sesi Explo di mana  saya ikut.

“Nah, gimana kalo terlanjur cinta ‘mati’ sama wanita macam itu?” tantang seorang teman di lain kesempatan, “mau alih profesi jadi pengusaha?”  Saya nyeblak, “Ya, nggak dong.  Cuma ganti ‘ladang’ aja, jadi penginjil keliling yang ngumpulin amplop tebal biar bisa melihara istri macam itu, he he he ….”

MENGAKU = DIAMPUNI, BEGITU SAJA?

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”  (1 Yohanes 1:9)

Satu kali seorang pemuda mendatangi pendetanya dan bertanya, “Pak, apakah kalo saya mengaku dosa saya, Tuhan akan ampuni?” Jawab pendeta, “Ya, benar.”  Pemuda bertanya kembali, “Meskipun saya berulang kali berdosa, kalo mengaku dosa, saya diampuni?”  Percakapan ini berlanjut “memanas” dengan ngototnya sang pemuda karena pendetanya berusaha menjelaskan bahwa tidak gampangan seperti itu suatu pengakuan dosa bisa meraih pengampunan.

Belum lagi dalam “perdebatan” itu sang pemuda “membumbui” dengan pandangan Calvinis mengenai ketetapan Allah yang memilih sebagian untuk diselamatkan—jadi berdosa bagaimana pun pasti tetap “selamat.”  Bagaimana akhirnya? Walahualam, kata kaum Ismael.

Waktu saya memikirkan adegan “perdebatan” tersebut, saya merenung ulang 1 Yoh 1:9.  Menariknya, saya tertegun ketika melihat penegasan rasul Yohanes—halmana selama ini terabaikan: “maka Ia adalah setia dan adil …”!

SETIA.  Allah memegang teguh janji-Nya. Termasuk janji bahwa barangsiapa menyesali dosa, mengakuinya dan meninggalkannya, ia akan memperoleh pengampunan dari Allah.  Tiga hal yang harus menjadi rangkaian, sebagai kondisi untuk dapat menerima anugerah pengampunan: penyesalan, pengakuan dan pertobatan.  Waktu rasul Yohanes berbicara mengenai “jika kita mengaku dosa kita …” maka tentulah ia sedang berbicara mengenai ketiga rangkaian itu.  Jika dengan ketiga hal yang merangkai itu kita datang pada Allah ketika kita telah berdosa, maka kesetiaan Allah akan kita nikmati.   Yakni kesetiaan atas janji pengampunan yang Ia berikan.  Karena memang, acapkali kesetiaan Allah mengental dalam sifat-Nya yang adalah kasih.  Itu sebabnya Kitab Suci kerap menggambarkan sifat itu dalam rangkaian istilah “kasih setia” Allah.

ADIL.  Kesetiaan-kasih Allah tidaklah meniadakan konsekuensi.  Apa yang ditabur orang, kelak pasti akan ia tuai.  Seorang pencandu narkoba, meski telah bertobat, tidaklah meniadakan dampak buruk narkoba yang dulu ia pakai terhadap tubuhnya.  Pasangan muda-mudi yang telah melakukan hubungan suami-istri di luar nikah, meski menyesali perbuatan mereka, tidaklah begitu saja lepas dari aib dan kehamilan di luar nikah.  Sungguh bebal orang yang menganggap bahwa ketika ia melakukan suatu dosa yang akhirnya berdampak buruk, lalu kemudian menyesal dan mengakuinya, bisa terhindar dari tanggung jawab atau akibat perbuatan dosanya.  Ini yang Paulus kecam sebagai “mencobai” Tuhan (1 Kor 10:9).

Hasil pengakuan dosa bukan hanya berhenti pada pengampunan saja.  Rasul Yohanes menegaskan lebih lanjut hal yang tidak kalah penting dari pengampunan, yakni “menyucikan kita dari segala kejahatan.”  Ini yang seringkali “diumbar” sebagai pemulihan, tapi dalam pemahaman yang keliru.  Banyak orang, setelah berbuat dosa, berharap “dipulihkan” dalam artian akibat-akibat perbuatan dosanya dilenyapkan, sehingga ia tidak perlu menanggung dampaknya dalam hidupnya.  Benar, bahwa upah dosa, yakni maut yang kekal telah ditanggung oleh Kristus di salib.  Itu sebabnya, orang yang telah menerima anugerah pengampunan dosa sepatutnya kemudian tidak hidup dalam dosa itu lagi.  Pemulihan yang benar adalah proses pengudusan kita, sehingga semakin hari kita semakin menyerupai Kristus.  Itu adalah makna sejati dari pemulihan, “penyucian kita dari segala kejahatan.”!

Akhirnya, pengakuan dosa itu sendiri tidaklah boleh menjadi ajang “mencobai” Tuhan.  Biarlah pengakuan dosa kita adalah rangkaian nyata dari penyesalan, pengakuan dan pertobatan.  Sehingga kasih dan keadilan Allah boleh mendatangkan penyucian (pemulihan) sejati dalam diri dan hidup kita.

21 Januari 2009

KRISTEN RABUN AYAM

 1peter5_7-song Di tengah semaraknya berbagai jenis “penyakit,” penyakit rabun ayam menjadi semakin tidak dikenal orang lagi.  Mungkin sekali penyebabnya adalah orang melihat hal yang wajar ketika menjelang hari gelap, penglihatan seseorang melemah, bahkan kabur.  Padahal, gejala itu menandakan bahwa orang yang mengalaminya sedang mengidap rabun ayam.

Dalam hidup sebagai orang percaya pun kita perlu waspada pada gejala “rabun ayam rohani.”  Tidaklah sehat secara rohani bila seorang Kristen, ketika hidupnya mengalami goncangan dan jalan terasa gelap, tidak tahu lagi mesti bagaimana, lantas tidak mampu lagi memandang dengan “mata rohani”nya.  Bukankah “mata rohani” seharusnya justru terpentang lebar-lebar ketika hidup mulai “menggelap”?  Sebab ketika hidup ini masih “terang terang saja,” kita tidak perlu bersusah payah memandang dengan “mata rohani” kita, bukan?

Memang tidak mudah membuka lebar-lebar “mata rohani” ketika hidup “menggelap.”  Bahkan sulit sekali, untuk orang yang “sehat rohani” sekalipun.  Namun, bukankah itu tantangan, ujian bagi kemampuan “mata rohani” kita dalam memandang hidup?  Bukankah justru akan ketahuan apakah “mata rohani” itu masih berfungsi baik, atau justru sudah rabun ayam ketika harus melihat dalam hidup yang “menggelap”?