05 Februari 2009

Elegi Bagi Sebentuk Cinta (2)

Suara ketukan di pintu kantornya membuat Utomo terpaksa menghentikan pembacaan laporan rutin dari berbagai cabang perusahaannya yang bertebaran di meja kerjanya.

“Masuk!” bentak lelaki separuh baya itu sambil melepas kaca matanya dan menggosok kedua matanya dengan punggung tangan.

“Selamat siang, Pak,” seorang gadis yang tampaknya belum terlalu lama meninggalkan masa remaja melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan pelan dan mendekati mejanya. Ia berhenti dekat sekali dengan meja Utomo, berdiri dan menatap lelaki itu dengan tatapan aneh.

“Ada apa, Lis?” Utomo melempar kaca matanya ke atas meja, yang mendarat di atas tumpukan kertas.

“Kenapa Bapak selama ini menghindari saya?”

Itu lagi, desah Utomo. Lelaki itu terhenyak di kursinya, mengusap wajahnya dengan telapak tangan dan mengeluarkan sebuah desahan panjang.

“Saya hanya ingin Bapak …”

“Sudah cukup! Kamu ini ngerti nggak apa yang sudah saya katakan, hah? Gugurkan saja itu! Beres! Kan sudah saya bilang, saya akan beri kamu sepuluh juta untuk membereskan persoalan ini. Kalo uang segitu belum cukup, memangnya kamu mau minta berapa, hah? Kamu mau memeras saya?” Utomo membentak, dan tanpa sadar ia sudah berdiri di tempatnya dan menghantamkan kedua tangannya ke meja.

“Bukan masalah uang Pak, tapi saya tidak mau menggugurkan …”

Dengan gusar Utomo menarik laci mejanya, memasukkan sebundel uang ke dalam sebuah amplop coklat besar dan melemparkannya pada gadis itu, tepat menghantam wajah sang gadis.

“Ambil uang sepuluh juta itu! Ambil! Pokoknya itu cukup buat ngurus perutmu itu! Siapa yang suruh sampai hamil segala? Sekarang, keluar dari tempat ini! Keluar!”

Di bawah tudingan jari Utomo yang terarah ke pintu keluar, gadis itu hanya bisa terisak dan berlalu dari ruangan itu. Amplop berisi uang itu dibiarkannya tergeletak di lantai. Hatinya sakit sekali. Ia keliru menilai Utomo, yang dulu sewaktu berusaha mendekatinya ketika ia baru bekerja beberapa minggu sebagai tenaga administrasi di perusahaan itu, bersikap sangat lembut dan penuh perhatian. Ia terjebak rayuan lelaki setengah baya itu, sampai bersedia ditiduri. Sekarang ia hanya bisa menyesali itu. Nasi sudah jadi bubur. Lisa hanya mampir sebentar ke toilet untuk merapikan diri, mencuci mukanya supaya tidak terlalu tampak habis menangis, dan dengan sekuat tenaga menabahkan hati, pergi meninggalkan kantor itu. Untuk selama-lamanya.

***

Setiap saat rasanya Jim sukar melepaskan bayangan gadis sederhanan itu. Masih muda, tapi sudah harus menjalani hidup dalam kepapaan macam itu. Pemuda itu heran, sekaligus penasaran. Kecantikan macam apa yang ada di balik penampilan kumal itu? Itu mendorongnya mengitari daerah yang ia kira tentu dilewati gadis itu saat bekerja. Tari, nama yang sederhana, meski tidak terkesan kampungan.

“Lo nyari siapa sih, Jim? Dari tadi loe suruh gue muter-muter gak keruan begini?” gerutu Rudi, yang sudah hampir sejam menyetir sedan biru metalik salah satu koleksi Jim.

Jim seperti tidak mendengar gerutuan teman karibnya itu.

Ia tidak henti-hentinya menengok kanan-kiri, terus berusaha untuk bisa melihat seseorang.

“Jim!”

Jim menoleh.

“Sabar dikit, kenapa? Gue masih belum lihat tuh cewek …”

“Cewek yang mana sih yang lagi loe cari? Masak nyari cewek di kawasan pertokoan kayak gini sih? Mahasiswi ato bukan? Kalo mahasiswi, mending kita satronin kampusnya aja. Kan lebih gampang?”

Tiba-tiba Jim menemukan sosok yang dicarinya.

“Itu dia!”

Rudi menghentikan sedan itu, dan berusaha melihat perempuan macam apa yang diburu sohibnya sejak tadi.

“Cewek yang mana sih, kok gue nggak lihat?”

“Itu!”

Rudi mengikuti telunjuk Jim, dan ketika ia melihat sosok yang ditunjuk itu, ia menjadi sangsi.

“Yang mana?”

“Itu!”

Rudi kali ini yakin sosok yang ditunjuk sohibnya itu. Dengan ragu ia bertanya, “Tukang sampah itu?”

Jim mengangguk.

“Astaganaga, Jim … demi dewa Tutatis dan segala jin Kemayoran! Loe kesambet setan mana sih, muter-muter dari tadi cuma buat nyari tukang sam…” Rudi tidak berani melanjutkan kata-katanya karena sekarang Jim sedang menatapnya dengan garang.

“Loe gak usah komentar apa-apa kali ini! Kalo gue butuh komentar loe, seperti biasa, gue bakal ngomong ke elo! Ngerti?”

Rudi menelan ludahnya, bibirnya terasa kering, dan ia tanpa sadar hanya bisa mengangguk kecil. Jim bukan orang yang menyenangkan dan menimbulkan rasa aman kalau ia sedang temperamental seperti itu.

“Lo sana pergi bawa mobil ini! Sejam lagi lo jemput gua di sini, ngerti? Lo boleh puas-puasin keliling kota sama mobil ini.”

Rudi mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi.  Sambil mengangkat bahu, ia masuk ke dalam mobil dan tak sampai lima menit sudah melaju meninggalkan sekepul asap knalpot berbau harumnya premix.

***

Elegi Bagi Sebentuk Cinta (1)

Langit di atas kompleks perumahan elit hari itu sedang cerah. Gumpalan putih awan yang menyebar di latar kebiruan semestinya membuat siapapun yang menatapnya merasakan suasana yang hangat, menentramkan.

Tapi ternyata tidak bagi Jim.

Pemuda awal duapuluhan itu hanya berdiri tanpa tahu mesti berbuat apa-apa. Bukan sekali ini saja ia merasakan perasaan begini. Entah sudah keberapa kalinya kekosongan yang begitu dalam, seolah-olah ada lobang besar tanpa dasar yang muncul didalam dirinya. Kekosongan yang ia sendiri tidak mengerti kenapa. Kekosongan yang sudah berulang kali coba ia tutupi, ia puaskan dengan melakukan apa saja. Sebut saja dengan segala kesenangan yang bisa ia peroleh dengan mudah, karena ia punya uang untuk mendapatkannya.

Jim menunduk di depan kolam ikan, yang dirancang dengan desain yang begitu alami. Seulas senyum sinis terukir sesaat diwajahnya ketika ia mengingat berapa juta papanya menghabiskan dana untuk membuatnya. Permukaan air yang tenang, yang hanya sesekali memunculkan riak kecil ketika ikan-ikan didalamnya mencoba muncul dipermukaan, memantulkan bayangan wajahnya.

Sesaat Jim memandangi pantulan wajahnya itu. Ia merasakan pipinya mulai terasa panas. Tanpa bisa ia kendalikan lagi, matanya tak sanggup membendung air mata yang mulai menggenang dan sekarang meluncur turun di pipinya.

Cengeng! Dengan jengkel pemuda itu mengusap wajahnya. Ia masuk ke dalam rumah, membasuh wajahnya dengan air dingin yang mengucur keluar dari keran wastafel. Dan dengan gerak reflek ia menyambar jaketnya. Sesaat ia tak sadar sudah berada di samping BMW edisi terbarunya. Ketika ia mengulurkan kunci untuk membuka pintu sedan itu, mendadak muncul sebuah gagasan. Ia memasukkan kembali kunci mobil itu kedalam saku celananya. Dengan mengenakan jaketnya, ia keluar dari halaman rumahnya yang besar itu.

Berjalan-jalan, betul-betul berjalan, dengan kedua kakinya. Tanpa kendaraan. Entah kenapa ide itu bisa melintas dibenaknya siang itu. Mungkin karena ia sudah bosan duduk memegang stir dalam ruangan mobil yang dingin karena semburan AC. Udara sudah tidak terlalu panas, paling tidak untuk ukuran Jakarta. Tapi panas atau tidak, ia sudah tidak peduli.

***

Entah sudah berapa lama Jim berjalan. Kini ia sedang melangkah diatas trotoar yang naik turun di depan deretan toko-toko kecil yang bangunannya tidak beraturan. Kakinya sudah terasa pegal sekali. Didepan sebuah kios kecil ia menjatuhkan pantatnya keatas sebuah bangku panjang dari kayu yang dipasang seadanya.

“Marlboro!” Jim mengulurkan selembar uang sepuluh ribuan kepada pemilik kios itu.

“Sama korek?” si pemilik kios, seorang lelaku yang mulai keriput dan sangat kurus itu, menarik sebuah korek gas dari kotaknya.

Jim menggeleng, ia menarik korek gasnya dari sakunya dan menunjukkannya kepada si pemilik kios. Bapak tua itu menggangguk kecil, entah kepada siapa, mengais-ngais laci kayu untuk mengambil uang kembalian, dan setelah menghitung dengan cepat ia mengulurkan beberapa lembar ribuan dan receh serta sebungkus rokok Marlboro kepada Jim. Jim hanya mengambil rokok itu, dan dengan acuh menolak uang kembaliannya, yang disambut dengan wajah bersinar si pemilik kios itu meski mulanya ia agak terkejut. Kedermawanan rupanya adalah hal langka bagi orangtua itu.

Jim menghisap dalam-dalam batang rokok yang menyala itu. Asap yang bergerombol menyesaki paru-parunya, menerobos keluar dengan hembusan kuat lewat kedua lubang hidungnya.

Setelah ia membakar dua batang rokok itu, dan siap untuk membakar batang yang ketiga, ia melirik arlojinya. Pukul setengah empat. Ia kembali mengangkat kepalanya, memandangi lalu lintas yang padat di depannya. Beberapa kali harus mengendus bau badan orang-orang yang berjalan rapat di depannya. Sesekali ada saja sandal atau sepatu yang menginjak sandal sepatu kulitnya. Tapi ia tidak peduli. Pikirannya kosong. Tapi pemandangan jalanan itu seolah menjadi hiburan tersendiri baginya. Ia sudah bosan dengan lingkungan nyaman dari mal-mal besar, kampus yang megah yang bertarif puluhan juta tiap semesternya, termasuk rumah besar yang selalu sepi, karena penghuninya hanya menjadikannya terminal sementara untuk terus ditinggal karena aktivitas yang padat.

Suara bising jalanan berikut bau khasnya yang sebenarnya sama menyesakkan dan buruknya dengan asap rokok yang biasa dihisapnya menjadi selingan yang sedikit mengalihkannya dari rutinitas kehidupan mewahnya.

Jim tertarik pada sesosok kumal yang menghentikan gerobak sampah tidak jauh darinya. Sosok itu masih muda. Mungkin sebaya dengannya. Dengan gesit sosok itu mendekati tempat sampah yang ada, mengangkatnya dan melemparkan isinya dengan ketepatan yang pas, sehingga isinya semuanya jatuh dengan manis kedalam gerobak sampah itu.

Mulanya Jim menyangka ia seorang lelaki. Tetapi ketika sosok itu mulai berjalan ke arahnya, mau mengambil tempat sampah yang hanya berjarak tiga setengah meter dari tempat Jim duduk, ia melihat bahwa tukang sampah itu seorang perempuan, walaupun ia memotong rambutnya pendek dan menutupinya dengan topi kumal. Tubuhnya kurus dengan dada yang rata.

Yang menarik bagi Jim adalah pancaran matanya. Ekspresi wajahnya. Ketenangan langkahnya. Jim merasakan semacam keanggunan dari gerak tukang sampah itu.

“Namanya Tari …” suara serak pemilik kios yang sekarang sudah duduk di sampingnya mengejutkannya. Tapi Jim tidak peduli, ia terus mengamati sosok itu, yang sekarang berjalan membelakanginya menuju gerobak yang terparkir ditepi jalan.

“Dia itu tukang sampah disini?” rasa penasaran yang muncul tak bisa ditahannya, sehingga Jim merasa perlu bertanya begitu pada bapak tua itu.

“Benar, Mas. Sudah hampir tiga tahun anak itu kerja jadi tukang sampah di wilayah jalanan ini.”

Jim mengangguk pelan, sekedar menunjukkan bahwa ia mendengarkan jawaban yang diberikan kepadanya.

“Anaknya rajin, Mas. Bapak sendiri sudah menganggapnya anak bapak sendiri, suka bilangin preman disini supaya nggak mengganggunya.”

Jim tidak menanggapi. Matanya terpaku pada sosok yang mengusik perhatiannya itu. Gadis itu berbeda. Jim menaksir usianya sebaya dengannya. Gadis itu memang tidak secantik dan seseksi Vira, mantan pacarnya. Tapi ada semacam daya tarik dari dirinya, yang terpancar dibalik penampilannya yang kumal itu.

Ah, kok tiba-tiba ia menjadi sentimentil begitu. Mungkin karena jenuh dengan dunia yang gemerlap, sehingga kesederhanaan semacam itu sekarang menjadi sesuatu yang mampu memikatnya.

“Siapa namanya, Pak?” mendadak Jim bertanya.

“Ha? Oh … Sari …,” pemilik kios yang sedari tadi duduk melamun menjawab setelah berhasil mengatasi kekagetannya atas pertanyaan yang begitu mendadak itu.

“Terima kasih, Pak,” Jim berdiri, membuang puntung yang masih menyala itu ke tanah dan menginjaknya sampai lumat, lalu melenggang pergi.

***