05 Februari 2009

Elegi Bagi Sebentuk Cinta (1)

Langit di atas kompleks perumahan elit hari itu sedang cerah. Gumpalan putih awan yang menyebar di latar kebiruan semestinya membuat siapapun yang menatapnya merasakan suasana yang hangat, menentramkan.

Tapi ternyata tidak bagi Jim.

Pemuda awal duapuluhan itu hanya berdiri tanpa tahu mesti berbuat apa-apa. Bukan sekali ini saja ia merasakan perasaan begini. Entah sudah keberapa kalinya kekosongan yang begitu dalam, seolah-olah ada lobang besar tanpa dasar yang muncul didalam dirinya. Kekosongan yang ia sendiri tidak mengerti kenapa. Kekosongan yang sudah berulang kali coba ia tutupi, ia puaskan dengan melakukan apa saja. Sebut saja dengan segala kesenangan yang bisa ia peroleh dengan mudah, karena ia punya uang untuk mendapatkannya.

Jim menunduk di depan kolam ikan, yang dirancang dengan desain yang begitu alami. Seulas senyum sinis terukir sesaat diwajahnya ketika ia mengingat berapa juta papanya menghabiskan dana untuk membuatnya. Permukaan air yang tenang, yang hanya sesekali memunculkan riak kecil ketika ikan-ikan didalamnya mencoba muncul dipermukaan, memantulkan bayangan wajahnya.

Sesaat Jim memandangi pantulan wajahnya itu. Ia merasakan pipinya mulai terasa panas. Tanpa bisa ia kendalikan lagi, matanya tak sanggup membendung air mata yang mulai menggenang dan sekarang meluncur turun di pipinya.

Cengeng! Dengan jengkel pemuda itu mengusap wajahnya. Ia masuk ke dalam rumah, membasuh wajahnya dengan air dingin yang mengucur keluar dari keran wastafel. Dan dengan gerak reflek ia menyambar jaketnya. Sesaat ia tak sadar sudah berada di samping BMW edisi terbarunya. Ketika ia mengulurkan kunci untuk membuka pintu sedan itu, mendadak muncul sebuah gagasan. Ia memasukkan kembali kunci mobil itu kedalam saku celananya. Dengan mengenakan jaketnya, ia keluar dari halaman rumahnya yang besar itu.

Berjalan-jalan, betul-betul berjalan, dengan kedua kakinya. Tanpa kendaraan. Entah kenapa ide itu bisa melintas dibenaknya siang itu. Mungkin karena ia sudah bosan duduk memegang stir dalam ruangan mobil yang dingin karena semburan AC. Udara sudah tidak terlalu panas, paling tidak untuk ukuran Jakarta. Tapi panas atau tidak, ia sudah tidak peduli.

***

Entah sudah berapa lama Jim berjalan. Kini ia sedang melangkah diatas trotoar yang naik turun di depan deretan toko-toko kecil yang bangunannya tidak beraturan. Kakinya sudah terasa pegal sekali. Didepan sebuah kios kecil ia menjatuhkan pantatnya keatas sebuah bangku panjang dari kayu yang dipasang seadanya.

“Marlboro!” Jim mengulurkan selembar uang sepuluh ribuan kepada pemilik kios itu.

“Sama korek?” si pemilik kios, seorang lelaku yang mulai keriput dan sangat kurus itu, menarik sebuah korek gas dari kotaknya.

Jim menggeleng, ia menarik korek gasnya dari sakunya dan menunjukkannya kepada si pemilik kios. Bapak tua itu menggangguk kecil, entah kepada siapa, mengais-ngais laci kayu untuk mengambil uang kembalian, dan setelah menghitung dengan cepat ia mengulurkan beberapa lembar ribuan dan receh serta sebungkus rokok Marlboro kepada Jim. Jim hanya mengambil rokok itu, dan dengan acuh menolak uang kembaliannya, yang disambut dengan wajah bersinar si pemilik kios itu meski mulanya ia agak terkejut. Kedermawanan rupanya adalah hal langka bagi orangtua itu.

Jim menghisap dalam-dalam batang rokok yang menyala itu. Asap yang bergerombol menyesaki paru-parunya, menerobos keluar dengan hembusan kuat lewat kedua lubang hidungnya.

Setelah ia membakar dua batang rokok itu, dan siap untuk membakar batang yang ketiga, ia melirik arlojinya. Pukul setengah empat. Ia kembali mengangkat kepalanya, memandangi lalu lintas yang padat di depannya. Beberapa kali harus mengendus bau badan orang-orang yang berjalan rapat di depannya. Sesekali ada saja sandal atau sepatu yang menginjak sandal sepatu kulitnya. Tapi ia tidak peduli. Pikirannya kosong. Tapi pemandangan jalanan itu seolah menjadi hiburan tersendiri baginya. Ia sudah bosan dengan lingkungan nyaman dari mal-mal besar, kampus yang megah yang bertarif puluhan juta tiap semesternya, termasuk rumah besar yang selalu sepi, karena penghuninya hanya menjadikannya terminal sementara untuk terus ditinggal karena aktivitas yang padat.

Suara bising jalanan berikut bau khasnya yang sebenarnya sama menyesakkan dan buruknya dengan asap rokok yang biasa dihisapnya menjadi selingan yang sedikit mengalihkannya dari rutinitas kehidupan mewahnya.

Jim tertarik pada sesosok kumal yang menghentikan gerobak sampah tidak jauh darinya. Sosok itu masih muda. Mungkin sebaya dengannya. Dengan gesit sosok itu mendekati tempat sampah yang ada, mengangkatnya dan melemparkan isinya dengan ketepatan yang pas, sehingga isinya semuanya jatuh dengan manis kedalam gerobak sampah itu.

Mulanya Jim menyangka ia seorang lelaki. Tetapi ketika sosok itu mulai berjalan ke arahnya, mau mengambil tempat sampah yang hanya berjarak tiga setengah meter dari tempat Jim duduk, ia melihat bahwa tukang sampah itu seorang perempuan, walaupun ia memotong rambutnya pendek dan menutupinya dengan topi kumal. Tubuhnya kurus dengan dada yang rata.

Yang menarik bagi Jim adalah pancaran matanya. Ekspresi wajahnya. Ketenangan langkahnya. Jim merasakan semacam keanggunan dari gerak tukang sampah itu.

“Namanya Tari …” suara serak pemilik kios yang sekarang sudah duduk di sampingnya mengejutkannya. Tapi Jim tidak peduli, ia terus mengamati sosok itu, yang sekarang berjalan membelakanginya menuju gerobak yang terparkir ditepi jalan.

“Dia itu tukang sampah disini?” rasa penasaran yang muncul tak bisa ditahannya, sehingga Jim merasa perlu bertanya begitu pada bapak tua itu.

“Benar, Mas. Sudah hampir tiga tahun anak itu kerja jadi tukang sampah di wilayah jalanan ini.”

Jim mengangguk pelan, sekedar menunjukkan bahwa ia mendengarkan jawaban yang diberikan kepadanya.

“Anaknya rajin, Mas. Bapak sendiri sudah menganggapnya anak bapak sendiri, suka bilangin preman disini supaya nggak mengganggunya.”

Jim tidak menanggapi. Matanya terpaku pada sosok yang mengusik perhatiannya itu. Gadis itu berbeda. Jim menaksir usianya sebaya dengannya. Gadis itu memang tidak secantik dan seseksi Vira, mantan pacarnya. Tapi ada semacam daya tarik dari dirinya, yang terpancar dibalik penampilannya yang kumal itu.

Ah, kok tiba-tiba ia menjadi sentimentil begitu. Mungkin karena jenuh dengan dunia yang gemerlap, sehingga kesederhanaan semacam itu sekarang menjadi sesuatu yang mampu memikatnya.

“Siapa namanya, Pak?” mendadak Jim bertanya.

“Ha? Oh … Sari …,” pemilik kios yang sedari tadi duduk melamun menjawab setelah berhasil mengatasi kekagetannya atas pertanyaan yang begitu mendadak itu.

“Terima kasih, Pak,” Jim berdiri, membuang puntung yang masih menyala itu ke tanah dan menginjaknya sampai lumat, lalu melenggang pergi.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar