30 Januari 2009

MENYUSURI "PANGGILAN"

Aku menyadari bahwa hidupku sekarang adalah hidup menyusuri panggilan. Panggilan untuk belajar peka dan setia atas apa yang kuperoleh sebagai tuntunan. Meski apa yang kumaksud dengan tuntuan itu tidak semenarik perhatian semak belukar yang menyala. Meksi itu juga tidak seheboh suara dari langit. Meski itu seringkali berbisik dalam angin sepoi-sepoi, bahkan "lihat saja nanti" yang selalu didengungkan seperti pada Abram. Aku memang bukan tokoh-tokoh Alkitab yang mengagumkan itu. Aku juga bukan "man of year" versi Ibrani 11. Tapi aku tahu bahwa aku sedang menuju pada jalan para bapa beriman itu. Dan aku bahagia karena pengetahuan itu. Menyusuri panggilan adalah pengalaman yang penuh tantangan. Mungkin Dia tahu, bahwa aku suka sekali traveling, sehingga Dia mengatur jalur panggilan yang harus kususuri dalam bentuk petualangan. Bukan berpindah "ladang" yang ku maksud petualangan itu, melainkan dari pengalaman demi pengalaman, pilihan demi pilihan, serta tantangan demi tantangan. Ada "rute" yang harus ditempuh. Ada "tujuan" yang harus dicapai. Ada "penderitaan" yang harus ditanggung. Ada "was was" yang harus ditahan. Aku menikmati setiap cara yang begitu kreatif Dia sodorkan padaku, agar aku mau terus berjalan menyusuri panggilanku. Dan seperti seorang bocah, aku melonjak senang setiap kali "ajakan" untuk satu langkah lagi menyusuri itu diserukan oleh-Nya. Karena itu berarti ada "keasyikan" baru yang Dia siap berikan ke tanganku ketika aku bersedia mengikuti-Nya untuk satu langkah lagi. Karena itu juga berarti satu lagi tahap dimana aku melalui proses pendewasaan sebagai anak-Nya. Aku menyadari sekali, bahwa hidupku sekarang adalah hidup menyusuri panggilan. Sebuah hak istimewa yang sering dengan bangga kubisikkan pada diriku sendiri--sebab bukankah melontarkannya secara oral pada orang lain adalah kesombongan? Malam ini, ketika aku dengan iri menonton para petualang bersepeda dan berjalan kaki yang diwawancarai dalam Kick Andy, aku menghibur diri dengan berbisik, "Ed, tahu nggak kalo kamu juga sudah bertualang ... sedang bertualang menyusuri jejak panggilan Tuanmu ... asal kamu mo setia dan tekun melangkah, kamu bisa berbangga seperti pesepeda dan pejalan kaki itu ... cuma saja, rekormu tidak dicatat di MURI atau pencatat rekor mana pun di dunia fana ini ... catatan itu akan digoreskan Bapak di Kitab Perbuatanmu ..." Maka, sambil membayangkan goresan tangan Bapa yang menuliskan sesuatu di Kitab Perbuatan itu, aku menyadari dan (belajar serta bergumul) untuk menikmati hidup menyusuri "panggilan."

26 Januari 2009

NaTaL DaN ImLeK

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33)

Sebuah sekolah Kristen yang kental latar belakang Tionghoanya akan mengadakan dwi perayaan sekaligus: Natal 08 dan Imlek 09.  Sewaktu diminta menuliskan kata sambutan mewakili majelis gereja untuk dwi perayaan itu, saya sempat bingung.  Apa hubungannya Natal dengan Imlek?  Esensinya aja udah beda jauh.  Yang satu kesederhaaan yang penuh memberi.  Yang satu lagi kemeriahan yang sangat meminta atau mengharap. 

Akhirnya Tuhan “membisikkan” Matius 6:33 untuk dijadikan nats dasar kata sambutan yang harus saya tulis.  Saya terperangah, sebab nats itu benar-benar tepat!  Ih, Tuhan huebaaat dech (lho, kok baru nyadar seh?). 

Dua perayaan, sekali lagi: dengan dua esensi yang berbeda—bahkan bertolak belakang, sudah jauh-jauh hari diantisipasi oleh Tuhan.  Nats ini tepat sekali menegaskan preferensi dari kedua perayaan tersebut.

Natal: adalah “carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya.”  Natal mula-mula adalah upaya pencarian Allah terhadap manusia yang berdosa.  Sebuah upaya pencarian yang mengorbankan harga termahal = Putra Tunggal-Nya sendiri!  Peristiwa Natal pertama pada dasarnya adalah perwujudan kasih Allah yang besar pada manusia berdosa.  Kasih itu diwujudkan dalam bentuk yang begitu sederhana, namun kuat.  Begitu sepi, namun universal.  Manusia diajak untuk kembali pada hidup sejati yang Allah telah rancangkan ketika Ia menciptakannya: hidup di dalam Allah dan kehendak-Nya.  Hidup dimana Kerajaan Allah (the Kingship of God, not just the Kingdom of God) hadir dalam hidup kita.  Dan kehidupan dalam the Kingship of God in our life itu harus dalam ranah kebenaran—bukan subyektivitas religius yang banyak membohongi kaum agamis.  Maksud saya, kehidupan religius (rohani tepatnya) yang menjadikan kebenaran Allah secara mutlak sebagai tolak ukur dan “aturan main”nya.  Akibatnya, kita akan banyak dibingungkan dengan paradoks (=hal-hal yang tampaknya bertentangan, tetapi sebenarnya tidak—bahkan selaras) bila berbicara mengenai kebenaran Allah.  Bukankah Natal adalah paradoks terbesar—dimana Tuhan yang Mahamulia menjelma menjadi ciptaan yang “rendah”? dimana Tuhan yang mencari lebih dahulu manusia berdosa yang nota bene adalah pihak yang paling membutuhkan Tuhan?

Imlek: adalah “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”  Imlek—tahun baru Tionghoa—jelas berakar dari budaya Tionghoa (lha, mosok dari budaya Jawa).  Meski katanya merupakan budaya, tidak dipungkiri lagi bahwa sinkretisme kepercayaan dan agama yang dianut mayoritas kaum Tionghoa sudah merasuk kuat di dalamnya.  Mirip sekali dengan beberapa daerah di Indonesia, dimana budaya dan agama sudah melebur, sehingga sulit sekali membedakannya, apalagi memisahkannya.  Sebagai Kristen Tionghoa, kita harus “berhati-hati” agar tidak terjebak dalam cap sinkretis karena turut berImlek ria.  Sinkretis antara Allah dan Mamon.  Sebab Imlek memang sarat dengan semangat Mamonisme … bukankah hampir seluruh simbol dalam ritual Imlek mengarah pada harapan keberkahan secara materi?  Imlek bisa berjalan di belakang iman Kristen, hanya bila itu dilihat sebagai “yang ditambahkan kemudian.”  Bukan sebagai pendamping hidup.  Maksudnya, bukan yang utama kedua.  Bukankah Kristus sendiri sudah menegaskan bahwa kita tidak dapat mengabdi pada dua tuan, bukan? Preferensi kita hanya memungkinkan tempat utama dimana kita mengabdi cuma bisa pada satu pihak saja.  Sehingga mau tidak mau, kita harus memilih.

Pada akhirnya, Natal dan Imlek bisa “sejalan” bila kita memandangnya sebagai momen untuk bersyukur.  Momen Natal adalah momen bersyukur atas cinta kasih Allah yang besar sehingga mengutus Putra Tunggal-Nya bagi orang berdosa macam kita.  Momen Imlek adalah momen bersyukur atas segala berkat yang telah, sedang dan akan Allah limpahkan pada kita—dimana kita memandang bahwa Dialah satu-satunya Sumber Berkat dan Pemelihara hidup kita.

22 Januari 2009

KALO YG INI, TUHAN NGGAK “PELIHARA”

Status jomblo, di satu sisi menyenangkan (buat saya), tapi di sisi lain menyebalkan (juga bagi saya)—sebab sering harus akting dengan adegan tanya jawab: “Kapan nikahnya?”  “Mei …”  “Bulan Mei?” “May be yes, may be no.”

Sampai satu ketika, seorang majelis bertanya mengapa saya tidak “jadian” saja dengan si Anu—seorang gadis lajang, usia hanya beberapa tahun lebih muda dari saya, cantik, dan nggak terlalu bodoh (maaf, yang terakhir unsur subyektivitas saya aja kok).  Saya bilang, nggak mungkin.  Ketika sang majelis tanya kenapa, saya jelaskan bahwa nggak mungkin “memelihara” istri yang perawatan tubuhnya saja paling tidak membutuhkan biaya sampai hampir satu  juta rupiah tiap bulan.  Belum lagi belanja pakaiannya yang minimal lima ratus ribu rupiah tiap bulan.  Itu belum termasuk acara makan dan jalan-jalan.  Mesti habis berapa juta per bulannya untuk “memelihara” istri macam itu?  Sedangkan panggilan “profesi” seperti saya harus belajar hidup sederhana—dalam artian yang sesungguhnya.  Bukan sederhana macam penginjil KKR kota besar atau pendeta-pendeta “gereja” tertentu, tentunya. 

Lantas, sang majelis menohok dengan pernyataan, “Kan Tuhan pelihara …” (mulanya saya kira tunjangan hidup saya bakal di-upgrade sama dia—yah, kepanjangan tangan Tuhanlah—tapi belakangan itu cuma mimpi, he he he)”masak kuatir?”  Saya langsung jawab, “Bener, amiiin … Tuhan pasti pelihara saya.  Tapi kalo istri kayak si Anu, Tuhan nggak pelihara ….”  Maksud saya, bukan pemeliharaan Tuhan terbatas, tapi sayalah yang mesti tahu diri, kalau mencari pendamping jangan sampai “mencobai” Tuhan dengan tuntutan pendapatan yang mesti besar sekali.  Jelas sekali panggilan Tuhan bagi saya termasuk tidak boleh mengambil pendamping yang gaya hidupnya di atas tunjangan hidup saya.  Pendamping macam itu biarlah diambil oleh para konglomerat, begitu pesan pak J. Sahetapy beberapa tahun lalu dalam sesi Explo di mana  saya ikut.

“Nah, gimana kalo terlanjur cinta ‘mati’ sama wanita macam itu?” tantang seorang teman di lain kesempatan, “mau alih profesi jadi pengusaha?”  Saya nyeblak, “Ya, nggak dong.  Cuma ganti ‘ladang’ aja, jadi penginjil keliling yang ngumpulin amplop tebal biar bisa melihara istri macam itu, he he he ….”

MENGAKU = DIAMPUNI, BEGITU SAJA?

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”  (1 Yohanes 1:9)

Satu kali seorang pemuda mendatangi pendetanya dan bertanya, “Pak, apakah kalo saya mengaku dosa saya, Tuhan akan ampuni?” Jawab pendeta, “Ya, benar.”  Pemuda bertanya kembali, “Meskipun saya berulang kali berdosa, kalo mengaku dosa, saya diampuni?”  Percakapan ini berlanjut “memanas” dengan ngototnya sang pemuda karena pendetanya berusaha menjelaskan bahwa tidak gampangan seperti itu suatu pengakuan dosa bisa meraih pengampunan.

Belum lagi dalam “perdebatan” itu sang pemuda “membumbui” dengan pandangan Calvinis mengenai ketetapan Allah yang memilih sebagian untuk diselamatkan—jadi berdosa bagaimana pun pasti tetap “selamat.”  Bagaimana akhirnya? Walahualam, kata kaum Ismael.

Waktu saya memikirkan adegan “perdebatan” tersebut, saya merenung ulang 1 Yoh 1:9.  Menariknya, saya tertegun ketika melihat penegasan rasul Yohanes—halmana selama ini terabaikan: “maka Ia adalah setia dan adil …”!

SETIA.  Allah memegang teguh janji-Nya. Termasuk janji bahwa barangsiapa menyesali dosa, mengakuinya dan meninggalkannya, ia akan memperoleh pengampunan dari Allah.  Tiga hal yang harus menjadi rangkaian, sebagai kondisi untuk dapat menerima anugerah pengampunan: penyesalan, pengakuan dan pertobatan.  Waktu rasul Yohanes berbicara mengenai “jika kita mengaku dosa kita …” maka tentulah ia sedang berbicara mengenai ketiga rangkaian itu.  Jika dengan ketiga hal yang merangkai itu kita datang pada Allah ketika kita telah berdosa, maka kesetiaan Allah akan kita nikmati.   Yakni kesetiaan atas janji pengampunan yang Ia berikan.  Karena memang, acapkali kesetiaan Allah mengental dalam sifat-Nya yang adalah kasih.  Itu sebabnya Kitab Suci kerap menggambarkan sifat itu dalam rangkaian istilah “kasih setia” Allah.

ADIL.  Kesetiaan-kasih Allah tidaklah meniadakan konsekuensi.  Apa yang ditabur orang, kelak pasti akan ia tuai.  Seorang pencandu narkoba, meski telah bertobat, tidaklah meniadakan dampak buruk narkoba yang dulu ia pakai terhadap tubuhnya.  Pasangan muda-mudi yang telah melakukan hubungan suami-istri di luar nikah, meski menyesali perbuatan mereka, tidaklah begitu saja lepas dari aib dan kehamilan di luar nikah.  Sungguh bebal orang yang menganggap bahwa ketika ia melakukan suatu dosa yang akhirnya berdampak buruk, lalu kemudian menyesal dan mengakuinya, bisa terhindar dari tanggung jawab atau akibat perbuatan dosanya.  Ini yang Paulus kecam sebagai “mencobai” Tuhan (1 Kor 10:9).

Hasil pengakuan dosa bukan hanya berhenti pada pengampunan saja.  Rasul Yohanes menegaskan lebih lanjut hal yang tidak kalah penting dari pengampunan, yakni “menyucikan kita dari segala kejahatan.”  Ini yang seringkali “diumbar” sebagai pemulihan, tapi dalam pemahaman yang keliru.  Banyak orang, setelah berbuat dosa, berharap “dipulihkan” dalam artian akibat-akibat perbuatan dosanya dilenyapkan, sehingga ia tidak perlu menanggung dampaknya dalam hidupnya.  Benar, bahwa upah dosa, yakni maut yang kekal telah ditanggung oleh Kristus di salib.  Itu sebabnya, orang yang telah menerima anugerah pengampunan dosa sepatutnya kemudian tidak hidup dalam dosa itu lagi.  Pemulihan yang benar adalah proses pengudusan kita, sehingga semakin hari kita semakin menyerupai Kristus.  Itu adalah makna sejati dari pemulihan, “penyucian kita dari segala kejahatan.”!

Akhirnya, pengakuan dosa itu sendiri tidaklah boleh menjadi ajang “mencobai” Tuhan.  Biarlah pengakuan dosa kita adalah rangkaian nyata dari penyesalan, pengakuan dan pertobatan.  Sehingga kasih dan keadilan Allah boleh mendatangkan penyucian (pemulihan) sejati dalam diri dan hidup kita.

21 Januari 2009

KRISTEN RABUN AYAM

 1peter5_7-song Di tengah semaraknya berbagai jenis “penyakit,” penyakit rabun ayam menjadi semakin tidak dikenal orang lagi.  Mungkin sekali penyebabnya adalah orang melihat hal yang wajar ketika menjelang hari gelap, penglihatan seseorang melemah, bahkan kabur.  Padahal, gejala itu menandakan bahwa orang yang mengalaminya sedang mengidap rabun ayam.

Dalam hidup sebagai orang percaya pun kita perlu waspada pada gejala “rabun ayam rohani.”  Tidaklah sehat secara rohani bila seorang Kristen, ketika hidupnya mengalami goncangan dan jalan terasa gelap, tidak tahu lagi mesti bagaimana, lantas tidak mampu lagi memandang dengan “mata rohani”nya.  Bukankah “mata rohani” seharusnya justru terpentang lebar-lebar ketika hidup mulai “menggelap”?  Sebab ketika hidup ini masih “terang terang saja,” kita tidak perlu bersusah payah memandang dengan “mata rohani” kita, bukan?

Memang tidak mudah membuka lebar-lebar “mata rohani” ketika hidup “menggelap.”  Bahkan sulit sekali, untuk orang yang “sehat rohani” sekalipun.  Namun, bukankah itu tantangan, ujian bagi kemampuan “mata rohani” kita dalam memandang hidup?  Bukankah justru akan ketahuan apakah “mata rohani” itu masih berfungsi baik, atau justru sudah rabun ayam ketika harus melihat dalam hidup yang “menggelap”?

TIDAK PUNYA, MALAH LEBIH “ADEM”

Pertama kali melihat sebuah tayangan iklan (maaf) pakaian dalam dimana Tora Sudiro memerankan bapak yang sedang menyupiri mobil berisi keluarganya, saya meringis melihat betapa iklan itu naif sebetulnya dibanding promosi yang lain.

Suasana gerah yang mendera penghuni mobil keluarga itu membuat Tora gelisah.  Sampai orang yang duduk di sampingnya, juga anaknya, mengacungkan sebungkus pakaian dalam baru—barang yang sedang dipromosikan oleh iklan itu—untuk dipakai.  Maksudnya, supaya Tora bisa merasa lebih adem.

Maka mobil dihentikan, sang Tora meloncat keluar, mencari tempat strategis untuk mengganti (maaf) pakaian dalamnya. Selesai itu, balik lagi ke mobil dengan berseri-seri sambil berujar senang, “Adem! adem!”  Padahal seisi mobil melotot kaget ….  Memang sih Tora sudah mengganti pakaian dalamnya sehingga merasa lebih nyaman, tapi penonton iklan ini disuguhkan sebuah adegan konyol, dimana ketika mobil itu melaju, di dahan terendah sebuah pohon tempat si Tora mengganti pakaian dalamnya, tergantunglah celana panjang yang tadi ia pakai …….

Tora merasa adem, bukan karena kualitas pakaian dalam itu.  Lha, celana panjangnya nggak dipakai, jelas …. (maaf bila bagian ini tidak diteruskan, mengingat ancaman kalo ini melanggar UU Pornografi).  Tapi naif bukan, sebuah  iklan pakaian dalam, tapi justru menunjukkan bahwa bukan pakaian dalam itu nyatanya yang membuat sang Tora merasa adem.

Tidak punya, malah lebih adem.   Ini tentu saja bertentangan dengan cara pandang kebanyakan orang.  Punya, tentu saja lebih adem.  Coba, punya uang segudang, apa hidup nggak lebih “adem,” lebih nyaman?  Punya rumah seperti istana, apa nggak lebih “adem”?  Punya ranjang elit yang empuk karena buatan luar negeri, apa nggak lebih “adem”?

Namun, justru saya melihat beberapa kali di pinggir jalan, satu-dua orang pemulung yang tertidur begitu lelap dan damai, hanya di atas rumput, membiarkan gerobak barangnya begitu saja di samping mereka.  Tidak ada bangun yang terkejut dan ketakutan kalau-kalau gerobak nafkah mereka dirampok orang.   Saya iri melihat rumah bobrok yang tidak punya pengaman rumah macam satpam, alarm atau anjing galak yang makanannya saja lebih mahal daripada yang saya makan sehari-hari.  Penghuni rumah-rumah macam itu tidak terbersit sedikit pun ketakutan pada rampok.  Di selasar gang kecil di Malang, misalnya, saya mendapati penduduk sederhana yang hidup nyaman dan bahagia.  Ibu-ibu yang duduk-duduk mencari kutu atau sekedar menampi beras, anak-anak yang semaksimal mungkin menikmati ruang sesak gang untuk menghamburkan energi Alkaline mereka dengan bermain, para bapak yang sempat muncul untuk makan siang menikmati sebatang rokok sebagai kemewahan yang nikmat.

Mungkin itu,  kesederhanaan maksudnya, yang menjadi kebahagiaan kaum monestari pada abad-abad pertengahan, ketika kaul miskin dan hidup amat sederhana menjadi laku hidup mereka sampai mati. 

(gimana ya kalo saya lepaskan semua barang saya, hidup mengembara sambil berkotbah, hanya bawa baju dua-tiga setel, Alkitab dan kotak nasi keci serta sebotol air putih, tidur di tempat mana saja yang memungkinkan … wah, mungkin “adem” ya?)

20 Januari 2009

DOA “KERINDUAN”

“Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah namaMu, datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga.” (Matius 6:9, 10)

Pernahkah Anda mendengar rintihan orang yang begitu merindu pada orang yang ia cintai? Dalam kata-katanya pasti ada permohonan yang mengiba-iba agar orang tercinta itu bisa ada di dekatnya. Tak perlulah saya menuliskan kira-kira apa isi rintihan rindu itu, sebab Anda tentu sudah bisa mengira-ngira.

Namun, sadarkah kita bahwa bagian pertama dari Doa yang diajarkan Kristus adalah pemujaan yang merindu? Coba baca lebih perlahan, coba resapi rasa merindu yang kental dalam kata-kata awal Doa Bapa Kami tersebut …. Apakah Anda dapat merasakan sebuah kerinduan yang begitu dahaga akan kehadiran Bapa Sorgawi dalam hidup si pemohon doa?

Kristus seolah membentuk pola Doa yang diajarNya itu dalam format “sandwich.” Perhatikan bila isi Doa Bapa Kami itu dibagi tiga bagian (menurut pembagian ayat dalam Injil Matius pasal 6):

Bagian pertama: ayat 9-10.

Bagian kedua: ayat 11-12.

Bagian ketiga: ayat 13.

Bagian pertama dan ketiga menjepit bagian kedua. Keunikan bagian pertama & kedua adalah bahwa keduanya berseru dalam kerinduan & ketakutan pada Bapa. Bagian pertama, kerinduan akan hadirnya Bapa dalam hidup si pemohon. Bagian kedua, ketakutan ditinggalkan Bapa—lepas dari yang jahat sebagai hasrat untuk dekat dengan Bapa, Sumber segala yang baik.

Jadi, sepatutnya kita melihat bahwa hasrat terdalam Kristus bagi kita adalah bahwa kita pun memiliki kerinduan yang dalam pada kehadiran Bapa di hidup kita. Sama seperti Dia, yang begitu erat mengikat diri pada relasi dengan Bapa. Hasrat kerinduan Kristus dengan Bapa sama kompleksnya dengan relasi kita dengan Bapa. Di satu sisi, relasi kita adalah ketundukan pada Bapa, yang mencipta kita. Di sisi lain, relasi kita adalah keakraban pada Bapa, yang mencintai kita. Perlu kepekaan untuk bisa mengkombinasikan dengan harmonis & selaras kedua sisi relasi itu: yakni baik ketundukan maupun kedekatan.

Kedua sisi relasi itulah yang Kristus tampilkan dalam bagian pertama dan ketiga Doa yang diajarkanNya. Dimana bagian pertama berbicara mengenai relasi kedekatan—kerinduan untuk bersama-sama Bapa, menikmati kehadiran Bapa dalam hidup kita di dunia ini; sebagai perwujudan pengharapan akan hidup kekal kelak. Serta bagian ketiga Doa itu, yang sesungguhnya secara esensi berbicara mengenai relasi ketundukan—hasrat untuk tidak terjebak pada kegagalan yang menjauhkan kita dari Bapa, kerinduan untuk selalu dalam kebaikan, sesuai natur Bapa.

Ketika kita berdoa, biarlah panjatan doa merindu boleh ada dalam bagian isinya.