22 Januari 2009

KALO YG INI, TUHAN NGGAK “PELIHARA”

Status jomblo, di satu sisi menyenangkan (buat saya), tapi di sisi lain menyebalkan (juga bagi saya)—sebab sering harus akting dengan adegan tanya jawab: “Kapan nikahnya?”  “Mei …”  “Bulan Mei?” “May be yes, may be no.”

Sampai satu ketika, seorang majelis bertanya mengapa saya tidak “jadian” saja dengan si Anu—seorang gadis lajang, usia hanya beberapa tahun lebih muda dari saya, cantik, dan nggak terlalu bodoh (maaf, yang terakhir unsur subyektivitas saya aja kok).  Saya bilang, nggak mungkin.  Ketika sang majelis tanya kenapa, saya jelaskan bahwa nggak mungkin “memelihara” istri yang perawatan tubuhnya saja paling tidak membutuhkan biaya sampai hampir satu  juta rupiah tiap bulan.  Belum lagi belanja pakaiannya yang minimal lima ratus ribu rupiah tiap bulan.  Itu belum termasuk acara makan dan jalan-jalan.  Mesti habis berapa juta per bulannya untuk “memelihara” istri macam itu?  Sedangkan panggilan “profesi” seperti saya harus belajar hidup sederhana—dalam artian yang sesungguhnya.  Bukan sederhana macam penginjil KKR kota besar atau pendeta-pendeta “gereja” tertentu, tentunya. 

Lantas, sang majelis menohok dengan pernyataan, “Kan Tuhan pelihara …” (mulanya saya kira tunjangan hidup saya bakal di-upgrade sama dia—yah, kepanjangan tangan Tuhanlah—tapi belakangan itu cuma mimpi, he he he)”masak kuatir?”  Saya langsung jawab, “Bener, amiiin … Tuhan pasti pelihara saya.  Tapi kalo istri kayak si Anu, Tuhan nggak pelihara ….”  Maksud saya, bukan pemeliharaan Tuhan terbatas, tapi sayalah yang mesti tahu diri, kalau mencari pendamping jangan sampai “mencobai” Tuhan dengan tuntutan pendapatan yang mesti besar sekali.  Jelas sekali panggilan Tuhan bagi saya termasuk tidak boleh mengambil pendamping yang gaya hidupnya di atas tunjangan hidup saya.  Pendamping macam itu biarlah diambil oleh para konglomerat, begitu pesan pak J. Sahetapy beberapa tahun lalu dalam sesi Explo di mana  saya ikut.

“Nah, gimana kalo terlanjur cinta ‘mati’ sama wanita macam itu?” tantang seorang teman di lain kesempatan, “mau alih profesi jadi pengusaha?”  Saya nyeblak, “Ya, nggak dong.  Cuma ganti ‘ladang’ aja, jadi penginjil keliling yang ngumpulin amplop tebal biar bisa melihara istri macam itu, he he he ….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar