26 Januari 2009

NaTaL DaN ImLeK

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33)

Sebuah sekolah Kristen yang kental latar belakang Tionghoanya akan mengadakan dwi perayaan sekaligus: Natal 08 dan Imlek 09.  Sewaktu diminta menuliskan kata sambutan mewakili majelis gereja untuk dwi perayaan itu, saya sempat bingung.  Apa hubungannya Natal dengan Imlek?  Esensinya aja udah beda jauh.  Yang satu kesederhaaan yang penuh memberi.  Yang satu lagi kemeriahan yang sangat meminta atau mengharap. 

Akhirnya Tuhan “membisikkan” Matius 6:33 untuk dijadikan nats dasar kata sambutan yang harus saya tulis.  Saya terperangah, sebab nats itu benar-benar tepat!  Ih, Tuhan huebaaat dech (lho, kok baru nyadar seh?). 

Dua perayaan, sekali lagi: dengan dua esensi yang berbeda—bahkan bertolak belakang, sudah jauh-jauh hari diantisipasi oleh Tuhan.  Nats ini tepat sekali menegaskan preferensi dari kedua perayaan tersebut.

Natal: adalah “carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya.”  Natal mula-mula adalah upaya pencarian Allah terhadap manusia yang berdosa.  Sebuah upaya pencarian yang mengorbankan harga termahal = Putra Tunggal-Nya sendiri!  Peristiwa Natal pertama pada dasarnya adalah perwujudan kasih Allah yang besar pada manusia berdosa.  Kasih itu diwujudkan dalam bentuk yang begitu sederhana, namun kuat.  Begitu sepi, namun universal.  Manusia diajak untuk kembali pada hidup sejati yang Allah telah rancangkan ketika Ia menciptakannya: hidup di dalam Allah dan kehendak-Nya.  Hidup dimana Kerajaan Allah (the Kingship of God, not just the Kingdom of God) hadir dalam hidup kita.  Dan kehidupan dalam the Kingship of God in our life itu harus dalam ranah kebenaran—bukan subyektivitas religius yang banyak membohongi kaum agamis.  Maksud saya, kehidupan religius (rohani tepatnya) yang menjadikan kebenaran Allah secara mutlak sebagai tolak ukur dan “aturan main”nya.  Akibatnya, kita akan banyak dibingungkan dengan paradoks (=hal-hal yang tampaknya bertentangan, tetapi sebenarnya tidak—bahkan selaras) bila berbicara mengenai kebenaran Allah.  Bukankah Natal adalah paradoks terbesar—dimana Tuhan yang Mahamulia menjelma menjadi ciptaan yang “rendah”? dimana Tuhan yang mencari lebih dahulu manusia berdosa yang nota bene adalah pihak yang paling membutuhkan Tuhan?

Imlek: adalah “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”  Imlek—tahun baru Tionghoa—jelas berakar dari budaya Tionghoa (lha, mosok dari budaya Jawa).  Meski katanya merupakan budaya, tidak dipungkiri lagi bahwa sinkretisme kepercayaan dan agama yang dianut mayoritas kaum Tionghoa sudah merasuk kuat di dalamnya.  Mirip sekali dengan beberapa daerah di Indonesia, dimana budaya dan agama sudah melebur, sehingga sulit sekali membedakannya, apalagi memisahkannya.  Sebagai Kristen Tionghoa, kita harus “berhati-hati” agar tidak terjebak dalam cap sinkretis karena turut berImlek ria.  Sinkretis antara Allah dan Mamon.  Sebab Imlek memang sarat dengan semangat Mamonisme … bukankah hampir seluruh simbol dalam ritual Imlek mengarah pada harapan keberkahan secara materi?  Imlek bisa berjalan di belakang iman Kristen, hanya bila itu dilihat sebagai “yang ditambahkan kemudian.”  Bukan sebagai pendamping hidup.  Maksudnya, bukan yang utama kedua.  Bukankah Kristus sendiri sudah menegaskan bahwa kita tidak dapat mengabdi pada dua tuan, bukan? Preferensi kita hanya memungkinkan tempat utama dimana kita mengabdi cuma bisa pada satu pihak saja.  Sehingga mau tidak mau, kita harus memilih.

Pada akhirnya, Natal dan Imlek bisa “sejalan” bila kita memandangnya sebagai momen untuk bersyukur.  Momen Natal adalah momen bersyukur atas cinta kasih Allah yang besar sehingga mengutus Putra Tunggal-Nya bagi orang berdosa macam kita.  Momen Imlek adalah momen bersyukur atas segala berkat yang telah, sedang dan akan Allah limpahkan pada kita—dimana kita memandang bahwa Dialah satu-satunya Sumber Berkat dan Pemelihara hidup kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar