22 Januari 2009

MENGAKU = DIAMPUNI, BEGITU SAJA?

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”  (1 Yohanes 1:9)

Satu kali seorang pemuda mendatangi pendetanya dan bertanya, “Pak, apakah kalo saya mengaku dosa saya, Tuhan akan ampuni?” Jawab pendeta, “Ya, benar.”  Pemuda bertanya kembali, “Meskipun saya berulang kali berdosa, kalo mengaku dosa, saya diampuni?”  Percakapan ini berlanjut “memanas” dengan ngototnya sang pemuda karena pendetanya berusaha menjelaskan bahwa tidak gampangan seperti itu suatu pengakuan dosa bisa meraih pengampunan.

Belum lagi dalam “perdebatan” itu sang pemuda “membumbui” dengan pandangan Calvinis mengenai ketetapan Allah yang memilih sebagian untuk diselamatkan—jadi berdosa bagaimana pun pasti tetap “selamat.”  Bagaimana akhirnya? Walahualam, kata kaum Ismael.

Waktu saya memikirkan adegan “perdebatan” tersebut, saya merenung ulang 1 Yoh 1:9.  Menariknya, saya tertegun ketika melihat penegasan rasul Yohanes—halmana selama ini terabaikan: “maka Ia adalah setia dan adil …”!

SETIA.  Allah memegang teguh janji-Nya. Termasuk janji bahwa barangsiapa menyesali dosa, mengakuinya dan meninggalkannya, ia akan memperoleh pengampunan dari Allah.  Tiga hal yang harus menjadi rangkaian, sebagai kondisi untuk dapat menerima anugerah pengampunan: penyesalan, pengakuan dan pertobatan.  Waktu rasul Yohanes berbicara mengenai “jika kita mengaku dosa kita …” maka tentulah ia sedang berbicara mengenai ketiga rangkaian itu.  Jika dengan ketiga hal yang merangkai itu kita datang pada Allah ketika kita telah berdosa, maka kesetiaan Allah akan kita nikmati.   Yakni kesetiaan atas janji pengampunan yang Ia berikan.  Karena memang, acapkali kesetiaan Allah mengental dalam sifat-Nya yang adalah kasih.  Itu sebabnya Kitab Suci kerap menggambarkan sifat itu dalam rangkaian istilah “kasih setia” Allah.

ADIL.  Kesetiaan-kasih Allah tidaklah meniadakan konsekuensi.  Apa yang ditabur orang, kelak pasti akan ia tuai.  Seorang pencandu narkoba, meski telah bertobat, tidaklah meniadakan dampak buruk narkoba yang dulu ia pakai terhadap tubuhnya.  Pasangan muda-mudi yang telah melakukan hubungan suami-istri di luar nikah, meski menyesali perbuatan mereka, tidaklah begitu saja lepas dari aib dan kehamilan di luar nikah.  Sungguh bebal orang yang menganggap bahwa ketika ia melakukan suatu dosa yang akhirnya berdampak buruk, lalu kemudian menyesal dan mengakuinya, bisa terhindar dari tanggung jawab atau akibat perbuatan dosanya.  Ini yang Paulus kecam sebagai “mencobai” Tuhan (1 Kor 10:9).

Hasil pengakuan dosa bukan hanya berhenti pada pengampunan saja.  Rasul Yohanes menegaskan lebih lanjut hal yang tidak kalah penting dari pengampunan, yakni “menyucikan kita dari segala kejahatan.”  Ini yang seringkali “diumbar” sebagai pemulihan, tapi dalam pemahaman yang keliru.  Banyak orang, setelah berbuat dosa, berharap “dipulihkan” dalam artian akibat-akibat perbuatan dosanya dilenyapkan, sehingga ia tidak perlu menanggung dampaknya dalam hidupnya.  Benar, bahwa upah dosa, yakni maut yang kekal telah ditanggung oleh Kristus di salib.  Itu sebabnya, orang yang telah menerima anugerah pengampunan dosa sepatutnya kemudian tidak hidup dalam dosa itu lagi.  Pemulihan yang benar adalah proses pengudusan kita, sehingga semakin hari kita semakin menyerupai Kristus.  Itu adalah makna sejati dari pemulihan, “penyucian kita dari segala kejahatan.”!

Akhirnya, pengakuan dosa itu sendiri tidaklah boleh menjadi ajang “mencobai” Tuhan.  Biarlah pengakuan dosa kita adalah rangkaian nyata dari penyesalan, pengakuan dan pertobatan.  Sehingga kasih dan keadilan Allah boleh mendatangkan penyucian (pemulihan) sejati dalam diri dan hidup kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar